Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Donlod Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT

Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT. UU  No.  6/20014  tentang  Desa  menjadi  prioritas  penting  bagi  Pemerintahan  Jokowi-JK,  dimana  Desa  diposisi- kan  sebagai  “kekuatan  besar”  yang  akan  memberikan  kon- tribusi    terhadap  misi  Indonesia  yang  berdaulat,  sejahtera dan bermartabat. Dalam NAWACITA, khususnya Nawa Cita ke-tiga “Membangun Indonesia dari Pinggiran den- gan  Memperkuat  Daerah-daerah  dan  Desa  dalam Kerangka Negara Kesatuan”, Pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen  mengawal  implementasi  UU  Desa  secara  sis- tematis, konsisten dan berkelanjutan, untuk mencapai Desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis.

Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT

Selain itu dalam Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi berkomitmen mewujudkan harapan UU Desa dan NAWACITA. Dalam konteks demikian, pendirian BUM Desa diposisikan sebagai salah satu kebijakan untuk mewujudkan Nawa Cita Pertama, Ketiga, Kelima dan Ketujuh, dengan pemaknaan sebagai berikut:

  • BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan untuk menghadirkan institusi negara (Kementerian Desa PDTT) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Desa (selanjutnya disebut Tradisi Berdesa).
  • BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran melalui pengembangan usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif.
  • BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia di Desa.
  • BUM Desa merupakan salah satu bentuk kemandirian ekonomi Desa dengan menggerakkan unit-unit usaha yang strategis bagi usaha ekonomi kolektif Desa.

Selama  ini  kita  mengenal  konsep  hidup  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan tetapi belum menyentuh lokus Desa. Terbitnya UU Desa telah menempatkan Desa menjadi wadah  kolektif  dalam  hidup  bernegara  dan  bermasyarakat, hingga   tercipta   konsep   Tradisi   Berdesa   sebagai   konsep hidup    bermasyarakat    dan    bernegara    di    ranah    Desa.1 Inti gagasan dari Tradisi Berdesa adalah:

  • Desa menjadi basis modal sosial yang memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, dan gotong royong secara inklusif yang melampaui batas-batas eksklusif kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya.
  • Desa memiliki kekuasaan dan berpemerintahan yang didalamnya mengandung otoritas dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.
  • Desa hadir sebagai penggerak ekonomi lokal yang mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada masyarakat.

Di lain pihak terdapat Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa)  yang  didefinisikan  Pasal  1  angka  6  UU  No.  6/2014 tentang Desa, sebagai :

“Badan Usaha Milik Desa, selanjutya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.”

Tak hanya itu juga dalam Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT Konsepsi Tradisi Berdesa merupakan salah satu gagasan fundamental yang mengiringi pendirian  BUM  Desa.  Tradisi Berdesa paralel dengan kekayaan modal sosial dan modal politik serta berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan BUM Desa. Inti gagasan dari Tradisi Berdesa dalam pendirian BUM Desa adalah:

  • BUM Desa membutuhkan modal sosial (kerja sama, solidaritas, kepercayaan, dan sejenisnya) untuk pengembangan usaha yang menjangkau jejaring sosial yang lebih inklusif dan lebih luas.
  • BUM Desa berkembang dalam politik inklusif melalui praksis Musyawarah Desa sebagai forum tertinggi untuk pengembangan usaha ekonomi Desa yang digerakkan oleh BUM Desa.
  • BUM Desa merupakan salah satu bentuk usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif antara pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Usaha ekonomi Desa kolektif yang dilakukan oleh BUM Desa mengandung unsur bisnis sosial dan bisnis ekonomi.
  • BUM Desa merupakan badan usaha yang dimandatkan oleh UU Desa sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.
  • BUM  Desa  menjadi  arena  pembelajaran  bagi warga Desa dalam menempa kapasitas manajerial, kewirausahaan, tata kelola Desa yang baik, kepemimpinan, kepercayaan dan aksi kolektif.
  • BUM Desa melakukan transformasi terhadap program yang diinisiasi oleh pemerintah (government driven; proyek pemerintah) menjadi “milik Desa”.

Konstitusionalitas Desa. Norma dasar dalam Pasal 18B ayat  (2)  UUD  NRI  1945  mengharuskan  negara  melakukan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat  hukum  adat  (desa,  gampong,  nagari,  kampung, nagari    dan    lain-lain)    beserta    hak-hak    tradisionalnya. Selengkapnya norma dasar Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Norma dasar tersebut dioperasionalkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 1 UU Desa yang berbunyi:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Frasa “kesatuan masyarakat hukum” telah menempatkan Desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government):

Desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat. Pemerintahan Desa berbeda dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan perangkat birokrasi.

Desa tidak identik dengan pemerintah Desa dan kepala Desa. Desa mengandung pemerintahan (local self government) dan sekaligus mengandung masyarakat (self governing community), sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum.

Frasa “prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional” bermakna: keberadaan dan kewenangan Desa sudah ada sebelum adanya negara, sebagai warisan masa lalu maupun berkembang dinamis karena prakarsa masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat yang berprakarsa membentuk keberadaan Desa dan kewenangan Desa, dimana keberadaan Desa dan kewenangan Desa tersebut harus diakui dan dihormati oleh negara.

Frasa “diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” berkaitan dengan Pasal 5 UU Desa bahwa Desa berkedudukan di wilayah kabupaten/ kota. Hal ini sebangun dengan keberadaan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi, sehingga kabupaten/kota bukanlah bawahan provinsi. Inti gagasannya adalah sebagai berikut:

Desa merupakan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat (self governing community  dan  local  self government) yang kedudukannya berada dalam wilayah kabupaten/kota, akan tetapi tidak serta merta menjadi bawahan kabupaten/kota.

Desa lebih merupakan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat  (self  governing  community  dan local self government) yang keberadaannya berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Sebagian besar warga masyarakat Indonesia selalu datang kepada pemerintah Desa untuk memperoleh pelayanan dan penyelesaian masalah sosial selama 24 jam tanpa henti. Hal ini berbeda dengan pemerintah daerah yang melayani masyarakat dengan jam kerja tertentu. Oleh karena itu, Desa sebagai organisasi pemerintahan berbasis masyarakat (self governing community dan local self government), harus diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.”

Asas Rekognisi dan Subsidiaritas. Asas rekognisi dan subsidiaritas ditetapkan sebagai asas pengaturan Desa dalam Pasal 3 UU Desa. Naskah penjelasan UU Desa mendefinisikan

 Asas Rekognisi sebagai pengakuan terhadap hak asal usul, sedangkan (ii) Asas Subsidiaritas sebagai penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan Desa.

Asas Rekognisi berkaitan erat dengan definisi Desa dalam Pasal 1 angka 1 UU Desa terutama tentang hak asal usul. Inti gagasan  Asas  Rekognisi  yang  menghormati  dan  mengakui kewenangan hak asal usul Desa selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 19 huruf a UU Desa, “Kewenangan Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal usul...”.

Asas Rekognisi terhadap Desa dalam UU Desa bersifat kontekstual, konstitusional dan hasil dari negosiasi politik antara pemerintah, DPR, DPD dan juga Desa. Pemaknaan terhadap Asas Rekognisi adalah sebagai berikut:

  • Desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah.
  • Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah eksis sebelum NKRI diproklamasikan pada tahun 1945 dan sudah memiliki susunan asli maupun hak asal usul.
  • Desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan bagian dari keragaman Indonesia sehingga tidak dapat diseragamkan.
  • Desa atau yang disebut dengan nama lain, dalam lintasan sejarah, Desa secara struktural menjadi  arena eksploitasi terhadap tanah  dan  penduduk  serta diperlakukan tidak adil mulai masa feodalisme, kolonial hingga otoritarianisme.

Konstitusi telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Sesuai amanat konsitusi [Pasal 18B ayat (2) UUD

NRI   1945],   negara,   swasta   (pelaku   ekonomi)   dan pihak  ketiga  (LSM,  perguruan  tinggi,  lembaga  donor internasional    dan    sebagainya)    harus    melakukan pengakuan   dan   penghormatan   terhadap   eksistensi Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum.

Eksistensi Desa mencakup hak asal usul (bawaan maupun prakarsa lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa Desa maupun kekayaan Desa.

Konsep mengakui dan menghormati Desa berarti tindakan untuk memanfaatkan, mendukung dan memperkuat institusi Desa yang sudah ada, dan bukannya menonjolkan tindakan intervensi (campur tangan) dan tindakan memaksa dan mematikan institusi Desa. Contoh tindakan yang bertentangan dengan Asas Rekognisi (pengakuan dan penghormatan) adalah:

  • Pemerintah maupun swasta menjalankan proyek pembangunan di Desa tanpa berdialog atau tanpa memperoleh persetujuan Desa;
  • Pihak luar membentuk kelompok masyarakat Desa tanpa persetujuan Desa; dan lain sebagainya.

Rekognisi Desa dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat istiadat, pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural (cultural justice), yang disertai dengan Redistribusi Ekonomi dalam bentuk alokasi dana untuk Desa dari APBN dan APBD.

Berkaitan dengan Asas Rekognisi, UU Desa mendefinisikan Asas    Subsidiaritas    sebagai    penetapan    kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan desa. Inti gagasan Asas Subsidiaritas selanjunya ditegaskan dalam Pasal 19 huruf b UU Desa, “Kewenangan Desa meliputi: .(b) kewenangan lokal berskala Desa..”.

Pemaknaan dari Asas Subsidiaritas adalah sebagai berikut:

Penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat kepada Desa. Urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal ditangani oleh Desa sebagai organisasi lokal yang paling dekat dengan masyarakat.

Negara menetapkan kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan Desa melalui UU Desa. Penetapan kewenangan lokal berskala Desa berarti terdapat peraturan  perundang-undangan  yang secara langsung memberi  batas-batas  yang  jelas tentang kewenangan lokal berskala lokal, tanpa melalui mekanisme delegasi maupun pelimpahan urusan/wewenang dari kabupaten/kota. Misalnya, Peraturan Menteri Desa PDTT No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Pemerintah melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap Desa dalam mengembangkan prakarsa untuk menyusun dan menetapkan kewenangan lokal berskala Desa. Misalnya, Peraturan Bupati/Walikota tentang Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa yang disusun dengan melibatkan prakarsa pemerintahan dan masyarakat Desa. Didalamnya terdapat BUM Desa sebagai salah satu bentuk Daftar Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sumber Buku 7 : Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa.

Demikian pembahasan mengenai Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT semoga bermanfaat dan salam merdesa, sehat selalu!

AMBIL DISINI Buku 7 BUM Desa Spirit Usaha Kolektif Desa dari Kemendes PDTT