Mengenal Demokratisasi Desa, Donlod Bukunya Format MS WORD
MEDIBARITA - Dalam upaya Mengenal Demokratisasi Desa, perlu adanya pemahaman yang benar benar intensif. Hal ini sebenarnya sangat bermanfaat dalam lingkungan pemerintah desa atau Pemdes. Tatkala sekarang semua pembangunan berawal dari desa, karena yang mengetahui kondisi grafis atau lainnya yaitu warga desa sendiri.
Nah untuk menambah wawasan sahabat perangkat desa dimanapun
berada, kami akan berusaha membagikan buku yang sangat bermanfaat dengan judul
Demoratisasi Desa oleh Kementerian Desa PDTT. Jika anda saat ini sedang mencari
dan membutuhkannnya bisa anda donlod di akhir artikel ini.
Dalam Demokrasi
nasional akan kokoh
apabila disokong oleh demokrasi di
tingkat akar rumput.
Hampir dua dekade terakhir, dihitung
sejak reformasi 1998,
perhatian publik terarah pada
sistem dan perjalanan
demokrasi di tingkat nasional.
Sementara di masyarakat paling bawah, demokrasi belum
menjadi agenda yang menonjol baik dalam regulasi maupun dalam
proses politik riil.
Masyarakat Desa misalnya, sejauh
ini hanya ‘dilibatkan’
dalam perhelatan- perhelatan “demokratis”
daerah maupun nasional,
seperti dalam Pemilu, Pemilukada
langsung, atau menjadi
objek pengaturan dalam otonomi daerah.
Perhelatan-perhelatan
tersebut tentu memiliki maksud dan tujuan tersendiri yang
tak kalah penting, diantaranyasebagai pewujudan demokrasi dalam politik
nasional. Akan tetapi demi kuatnya demokrasi secara nasional, penumbuhan
kesadaran dan pembelajaran demokrasi membutuhkan upaya yang lebih massif dan
langsung menyentuh kehidupan masyarakat Desa. Di antaranya melalui
demokratisasi Desa.
Dalam Kekosongan regulasi Negara yang mendorong demokrasi di
tingkat masyarakat paling bawah diisi oleh UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa. UU No.
6 Tahun 2014, selanjutnya disebut UU Desa secara
spesifik memerintahkan Kepala Desa
dan BPD (Badan
Permusyawaratan Daerah) untuk melaksanakan kehidupan
demokrasi.
Kewajiban serupa
berlaku bagi Desa, yaitu untuk mengembangkan kehidupan demokrasi. Itu
berarti, UU Desa
tengah mensinergikan
demokrasi sebagai kewajiban
bagi elit Desa
(Kades dan BPD) dengan
pengembangan tata sosial
dan budaya demokrasi masyarakat
Desa secara keseluruhan.
Apabila sinergi keduanya dapat terjadi, kokohnya demokrasi secara nasional
menjadi mungkin terwujud.
Ikhwal yang harus diperjelas adalah: mengapa demokratisasi
Desa penting?
Tidakkah proses demokratisasi yang masih terus berlangsung
sampai saat inidi tingkat nasional cukup mengantarkan Desa menjadi demokratis?
Lantas, bagaimana demokratisasi Desa akan dilakukan? Tiga pertanyaan tersebut
mewakili gambaran umum apa yang akan diulas dalam tulisan ini. Secara umum,
tulisan ini akan membahas mengenai signifikansi demokratisasi Desa; Desa
sebagai arena bagi demokrasi serta prinsip-prinsip demokrasi yang harus
dikembangkan di Desa; kerangka kerja demokratisasi Desa; dan peran Pendamping
dalam demokratisasi Desa.
Arti Demokratisasi Desa
Demokratisasi
Desa adalah merupakan frase
tersendiri yang sengaja dibedakan dengan demokratisasi di Desa.
Demokratisasi Desa ini mewakili semangat UU Desa yang
mengakui Desa sebagai subyek dalam payung asas rekognisi dan subsidiaritas.
Pilihan frase tersebut juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Desa bukanlah
ruang geografi kosong yang berjarak dari sosio budaya manusia yang tinggal di
dalamnya, seperti tertangkap dari frase demokratisasi di Desa.
Sebaliknya, Desa merupakan kesatuan teritorial atau wilayah
yang melekat dan terikat pada kehidupan manusia di atasnya beserta tradisi dan
adat-istiadat yang menggerakkan kehidupan itu. Dengan demikian, frase atau
konsep demokratisasi Desa berarti upaya menggerakkan demokrasi dalam kekhasan
Desa itu sendiri. Demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam semangat
pengakuan keunikan dan kekhasan tradisi Desa.
Signifikansi atau nilai penting demokratisasi Desa
dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, dalam arena Desa, demokrasi merupakan
upaya pendefinisian ulang hubungan antara masyarakat Desa dengan elit atau
penyelenggara Pemerintahan Desa (Kades beserta perangkat dan BPD). Melalui
demokrasi, di Desa pun berlaku definisi umum kekuasaan, yakni kekuasaan berasal
dan berada di tangan rakyat. Dengan berpijak pada definisi tersebut berarti
bahwa masyarakat atau warga Desa adalah pemilik sejati dari kekuasaan (Desa),
bukan elit atau penyelenggara Pemerintahan Desa. Penyelenggara Pemerintahan
Desa adalah sekedar pelaksana kekuasaan rakyat Desa, bukan pemilik kekuasaan
atau apalagi pemilik Desa.
Latar belakang kedua terkait dengan kemajuan yang ditandai
oleh UU Desa dalam memandang kedudukan
Desa. Salah satu bagian terpenting dalam UU Desa adalah
pengakuan Negara terhadap hak asal-usul Desa (disebut asas rekognisi) dan
penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal
untuk kepentingan masyarakat Desa (disebut asas subsidiaritas). Dengan dua asas
tersebut, Desa memiliki kewenangan yang sangat besar untuk mengurus dirinya
sendiri.
Dipandang dari sudut kepentingan masyarakat Desa, rekognisi dan subsidiaritas memberi peluang bagi Desa untuk mewujudkan kehendak bersama dalam semangat Desa membangun.
Desa
tampil sebagai subyek
yang merencanakan dan menyusun
prioritas pembangunannya sendiri, terlepas
dari instruksi atau
dikte Pemerintah ataupun
Pemerintah Daerah. Sementara di sisi lain, hanya dengan rekognisi dan
subsidiaritas, watak feodal dan elitisme penyelenggara Pemerintahan Desa
berpeluang untuk muncul kembali
(Sutoro Eko, dkk.,
2014).
Dalam konteks
itulah, demokrasi dibutuhkan
untuk mengembangkan modal sosial
masyarakat Desa dalam
berhadapan dan mengelola
kekuasaan Desa. Melalui demokrasi pula, dapat diharapkan tumbuhnya kesadaran
dalam masyarakat Desa akan
posisinya sebagai sumber
serta pemilik kekuasaan yang sejati.
Rekognisi dan subsidiaritas sebagai asas pengaturan Desa membawa implikasi pada desain demokrasi yang dikembangkan di Desa. Demokrasi Desa memiliki titik tekan dan nuansa tersendiri yang tidak dapat disamarupakan dengan demokrasi di tingkat nasional.
Hak asal-usul, pola sosio budaya Desa,
karakteristik masyarakat Desa, dan kenyataan sosiologis masyarakat Desa
menuntut adaptasi dari sistem modern apapun apabila ingin berjalan di Desa,
tidak terkecuali demokrasi.
Desa Sebagai Arena Demokrasi
Demokratisasi Desa setidaknya harus memperhatikan empat hal
berikut. Pertama, hubungan-hubungan sosial yang ada di Desa terbangun dari
pergaulan sosial secara personal antar sesama penduduk Desa yang telah
berlangsung lama. Bahkan, banyaknya Desa-desa di Indonesia yang usianya jauh
lebih tua dari usia Negara Republik Indonesia menandai bahwa hubungan-hubungan
sosial tersebut telah sangat lama terbentuk.
Apabila nasionalisme atau perasaan kebangsaan di tingkat
Negara terbentuk secara imajiner, seperti danyatakan oleh seorang antropolog,
perasaan sebagai sesama orang sedesa tumbuh secara empiris dan personal, yaitu
hasil dari pergaulan sehari-hari termasuk dari hubungan kekerabatan.
Hubungan-hubungan tersebut seringkali membentuk pola sikap dan tata cara pergaulan.
Secara umum misalnya hubungan antara orang yang lebih tua dengan yang lebih
muda, saudara dekat dengan saudara jauh, berkerabat atau tidak berkerabat.
Kedua, hubungan Desa dengan ruang juga berlangsung dengan
intensitas yang sangat tinggi. Bagi Desa, tanah dan ruang yang mereka tinggali
bukan semata-mata ruang mati yang dapat ditinggalkan sewaktu-waktu atau diolah
dan diuangkan (dijual) dengan sesuka hati.
Ruang bagi Desa sama pentingnya dengan kehidupan itu
sendiri. Keterikatan pada ruang tersebut bukan semata-mata bersifat ekonomis,
yakni
sebagai sumber nafkah, melainkan tidak jarang dibarengi
dengan perlakuan ruang sebagai sesuatu yang bernyawa dan hidup.
Dari model keterikatan semacam itulah muncul kearifan lokal
(local wisdom) yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk tindakan ramah
lingkungan masyarakat Desa, penghargaan terhadap tanah, udara, dan air.
Berkait dengan itu, ketiga,pergaulan yang lama, intens, dan
berlangsung dalam hubungan serba hidup dengan ruang, menciptakan atau pola
sosio budaya Desa yang khas. Kehidupan Desa bukan berlangsungsebagai kumpulan
manusia yang berhubungan secara kontraktual dan formal, melainkan sekumpulan
manusia yang memiliki pengalaman bersama, sekaligus digerakkan oleh tradisi
yang terbentuk dalam lintasan sejarah, dan terikat pada ruang.
Setiap Desa memiliki
adat-istiadat, sistem kelembagaan politik tradisional yang berbeda-beda, dan
sejarahnya masing- masing. Misalnya, Banyak Desa yang masih mempergunakan trah
atau keturunan sebagai rujukan penilaian siapa yang layak menjadi Kepala Desa.
Keempat, solidaritas yang terbentuk di Desa biasanya
bersifat mekanis yang kental dengan nuansa kolektivistik. Dalam bentuk
solidaritas semacam itu, masyarakat Desa menjadi suatu kategori subyektif
tersendiri yang diikat oleh rasa
kebersamaan dan saling topang.
Masyarakat Desa sebagai subyek atau aktor dapat bertindak
sebagaimana individu. Dalam cara pandang modernisasi-pembangunan model orde
baru, sifat-sifat Desa yang semacam itu dilihat sebagai penghambat pembangunan.
Sebaliknya, dalam UU Desa sifat-sifat itu justru diakui dan diterima sebagai
fakta objektif yang memiliki potensi tersendiri bagi kemajuan masyarakat Desa,
termasuk dalam hal berdemokrasi.
Titik berangkat demokratisasi Desa, dengan mengacu pada asas
rekognisi dan subsidiaritas, ialah mengakui kapasitas Desa sebagai
self-governing community, komunitas yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan
caranya masing-masing yang khas.
Kapasitas tersebut, yang bentuknya sangat bervariasi antar
Desa, merupakan pintu bagi proses demokratisasi yang lebih masif.
Sebagai contoh, prinsip kekuasaan berada di tangan rakyat
atau masyarakat Desa, tidak serta merta ditumbuhkan dengan merusak tatanan perilaku
yang mengatur hubungan antara orang yang lebih tua dengan orang yang lebih
muda. Atau, untuk meyakinkan bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh siapapun
tanpa mengacu pada keturunan, dapat dilakukan dengan menumbuhkan partisipasi
aktif warga dalam menangani kepentingan masyarakat Desa.
Salah satu titik tekan dari kenyataan berdesa yang harus diperhatikan dalam demokrasi Desa
adalah sifat kolektivitas masyarakat Desa. Dalam sifat kolektivitas tersebut,
masyarakat Desa memiliki kecenderungan
umum untuk mendahulukan permusyawaratan daripada pemungutan suara.
Komunitas-komunitas lokal di seluruh Indonesia mengenal sistem permusyawaratan
itu dalam berbagai nama.
Di Jawa dikenal rembug desa, Kerapatan Adat Nagari di
Sumatera Barat, Saniri Negeri di Maluku, Gawe Rapah di Lombok, Kombongan di
Toraja, Paruman di Bali, kuppulan atau kakuppulan di Lampung, dan lain
sebagainya. Lembaga-lembaga permusyawaratan tersebut sesungguhnya menjadi modal
sosial dasar bagi demokrasi, sekaligus pintu masuk bagi demokratisasi Desa
tanpa mencederai tradisi Desa.
Dengan kata lain, demokratisasi Desa harus dikembangkan dari
kekayaan tradisi Desa sesuai asal- usul Desa dan pola sosio budaya masyarakat
Desa itu sendiri. Sehingga demokrasi Desa tumbuh hasil pergulatan masyarakat
Desa dengan kekayaan sosio budaya yang mereka miliki, bukan cangkokan
mentah-mentah dari luar.
Prinsip Demokrasi dan Lembaga Demokrasi Desa
Prinsip Demokrasi dan Prinsip umum
Dalam sosiologi, lembaga difahami bukan sekedar badan atau
instansi, melainkan perangkat aturan dan nilai yang termanifestasi dalam sebuah
mekanisme tertentu. Demokrasi dikatakan telah melembaga, apabila nilai-nilai
demokrasi telah berjalan-menyatu dalam tindakan sosial dan mekanisme yang
berlaku di Desa.
Dalam tulisan ini, nilai demokrasi tersebut disebut sebagai
prinsip demokrasi Desa. Prinsip-prinsip demokrasi yang akan diulas di bawah ini
dirumuskan dalam semangat makna demokrasi Desa yang diturunkan dari UU Desa.
UU Desa menjelaskan demokrasi:yaitu sistem pengorganisasian
masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat
Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan
dijamin.
Frase yang ditulis tebal dalam penjelasan tentang demokrasi
di atas menunjukkan bahwa prinsip utama pemerintahan di Desa adalah dilakukan
oleh masyarakat Desa. Penjelasan tersebut sambung dengan definisi paling dasar
dari kekuasaan demokratis yang menjadi prinsip paling umum dan mendasar dalam
setiap pemerintahan demokrasi, yaitu
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Konsekuensi dari prinsip umum itu adalah, (1) menolak
anggapan atau klaim bahwa kekuasaan dimiliki atau ditakdirkan untuk dijalankan
oleh sebuah keluarga beserta keturunannya, atau oleh kelompok tertentu.
Konsekuensi (2) setiap warga masyarakat berhak dan harus berpartisipasi dalam
pemerintahan, yaitu dalam pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat
strategis.
Partisipasi warga masyarakat juga dipastikan dalam frase
berikutnya, yaitu dengan persetujuan masyarakat Desa, yang berarti masyarakat
Desa bukan pihak yang pasif dalam pemerintahan. Sebaliknya masyarakat Desa
memiliki hak untuk setuju atau tidak setuju, melalui mekanisme yang telah
diatur dan disepakati, terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Prinsip demokrasi Desa
Prinsip umum demokrasi di atas, pada gilirannya harus
dikembangkan dalam basis sosio budaya Desa, sebagaimana ditegaskan melalui asas
rekognisi dan subsidiaritas. Pelaksanaan dan pengembangan kehidupan demokrasi
harus diorientasikan bagi kemajuan kolektif masyarakat setempat, yaitu
masyarakat Desa, bukan demi demokrasi itu sendiri.
Dalam hal ini, ketaatan terhadap norma demokrasi harus
seiring dengan keterikatan atau loyalitas terhadap komunitas. Dengan alamat
keberpihakan tersebut, demokrasi Desa bukan lagi menjadi perangkat nilai-nilai
umum (universal) yang bersifat memaksa, atau menjadi mekanisme dan prosedur
yang terlepas dari pengalaman masyarakat Desa, melainkan terkait dan terikat
pada perikehidupan masyarakat yang menjalankan demokrasi. Secara lebih
spesifik, prinsip demokrasi Desa adalah sebagai berikut.
Kepentingan Masyarakat Desa
Pelaksanaan
pemerintahan desa secara
keseluruhan harus bertolak dan berujung pada kepentingan masyarakat
Desa. Kepentingan masyarakat Desa yang dimaksud adalah aspek umum yang berkait
dan menentukan perikehidupan warga
Desa, khususnya untuk
hal yang bersifat
strategis. Dalam Pasal 54 ayat (2) UU Desa, hal yang bersifat strategis
tersebut meliputi: (a) penataan Desa, (b) perencanaan Desa,
(c) kerja sama Desa, (d) rencana investasi yang masuk ke
Desa, (e) pembentukan BUM Desa, (f) penambahan dan pelepasan aset Desa, dan (g)
kejadian luar biasa. Meletakkan kepentingan masyarakat Desa sebagai prinsip
demokrasi Desa dimaksudkan untuk mengontrol kualitas dan keterwakilan aspirasi
masyarakat Desa dalam mekanisme demokratis yang dilaksanakan Desa.
Musyawarah
Setiap keputusan Desa mengutamakan proses musyawarah mufakat.
Musyawarah merupakan pembahasan atas suatu masalah tertentu dengan
mengedepankan tukar pendapat serta argumentasi yang dilaksanakan dengan
melibatkan seluruh unsur masyarakat. Berbeda dengan sistem pengambilan
keputusan yang mengedepankan pemungutan suara, prinsip musyawarah mengedepankan
tukar pendapat, pandangan, dan argumentasi antar peserta musyawarah sampai
dicapai mufakat.
Dalam demokrasi Desa, musyawarah sekaligus juga merupakan
mekanisme utama dalam mencapai keputusan Desa seperti diatur dalam Permendesa
PDTT No. 2 tahun 2015.
Musyawarah sebagai prinsip demokrasi Desa merupakan bagian
dari rekognisi atas kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa. Termasuk
di dalamnya merekognisi sifat- sifat kegotong-royongan, kebersamaan, dan
kolektivitas.
Dalam konsepsi demokrasi modern, musyawarah sesungguhnya
seiring dengan pandangan demokrasi deliberatif yang mengedepankan adu
argumentasi dalam ruang publik. Dalam musyawarah, akal (bukan okol, atau otot)
dan pikiran jernih khas masyarakat Desa yang memandu pertukaran argumentasi.
Bedanya, apabila adu argumentasi dalam demokrasi deliberatif berangkat dari
ruang pengalaman masyarakat urban, pertukaran argumentasi dalam musyawarah berlangsung
dalam ruang pengalaman masyarakat Desa.
Partisipasi
Partisipasi berarti keikutsertaan masyarakat Desa dalam
setiap kegiatan dan
pengambilan keputusan strategis
Desa. UU Desa meletakkan sifat partisipatif sebagai asas pengaturan,
yang artinya berkehendak untuk menopang proses demokratisasi di Desa.
Partisipasi dilaksanakan tanpa memandang perbedaan gender
(laki-laki/perempuan), tingkat ekonomi (miskin/kaya), status sosial
(tokoh/orang biasa), dan seterusnya. Sebagai asas pengaturan Desa dan prinsip
demokrasi, partisipasi merupakan keharusan sebagai perwujudan hak demokratik
yang dimiliki oleh setiap wargaDesa sebagai pemegang kekuasaan.
Dalam konteks Musyawarah Desa, pelaksanaan partisipasi
tersebut dijamin sampai dalam tingkat yang sangat teknis. Dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf e Permendesa No. 2 Tahun 2015, diatur bahwa setip unsur masyarakat
berhak “menerima pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan
selama berlangsungnya musyawarah Desa” (Pasal 3 ayat (3) huruf e Permendesa
PDTT No. 2 tahun 2015).
Sukarela
Demokrasi mensyaratkan proses partisipasi berlangsung secara
sukarela. Sukarela dapat dimaknai sebagai (1) kesadaran pribadi untuk melakukan
atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan Desa. Maksud kesadaran pribadi adalah
bahwa setiap orang mengoptimalkan pertimbangan akal sehatnya dalam memutuskan
atau bersikap atas sesuatu hal.
Makna selanjutnya, (2) sukarela berarti bebas dari ancaman
atau intimidasi dalam menentukan sebuah sikap. Termasuk di dalamnya ancaman kekerasan serta politik
uang (money politic).
Prinsip sukarela sangat erat kaitannya dengan hak asasi
manusia serta kedaulatan pribadi (self sovereignty). Setiap orang memiliki hak
untuk bebas dari ancaman atau tekanan pihak lain. Dalam masyarakat Desa,
prinsip ini merupakan salah satu aspek penting yang harus dikembangkan untuk
mencapai kehidupan Desa yang demokratis.
Toleransi
Toleransi merupakan prinsip demokrasi selanjutnya yang harus
dikembangkan lebih maju dalam demokrasi Desa. Prinsip ini berarti sikap
menghormati atas sikap atau pendapat yang berbeda, tanpa mencela, merendahkan,
atau meremehkan.
Toleransi juga bermakna non-diskriminasi. Dalam demokrasi,
mengucilkan seseorang atau sekelompok orang karena identitas atau keadaannya
(gender, agama, etnis, keluarga, tingkat ekonomi, penyandang disabilitas, dst.)
merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya demokrasi Desa
diwujudkan sebagai ruang empiris untuk merangkul setiap elemen perbedaan atau
kemajemukan (pluralitas) yang terdapat dalam masyarakat.
Prikemanusiaan atau humanis
Pengertian demokrasi dalam UU Desa di atas menempatkan pengakuan dan jaminan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai tata perlakuan dasar atas manusia/ masyarakat Desa. Itu berarti setiap orang atau individu warga Desa harus dilihat dalam posisinya yang luhur dan mulia sebagai makhluk Tuhan. Setiap orang berhak untuk dihormati, diayomi, diakui harkat dan martabatnya.
![]() |
ilustrasi: googleplaystore |
Dengan kata lain, perbuatan menyudutkan seseorang secara negatif, main hakim sendiri, pembiaran atas terjadinya kekerasan atau bahkan melakukannya, harus dieliminasi dalam kehidupan Desa. Dalam demokrasi Desa, akar-akar prinsip prikemanusiaan atau humanis mengacu pada keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Berkeadilan gender
Prinsip penting dalam demokrasi Desa adalah keadilan gender.
Keadilan gender sudah harus tercermin dalam pengambilan keputusan-keputusan
strategis Desa. Menonjolkan prinsip keadilan gender dalam demokrasi Desa
sesungguhnya memiliki garis tradisi dengan hubungan gender di Desa.
Dalam kehidupan Desa, pembedaan ketat antara peran publik
dan peran domestik berbasis gender, justru tidak dikenal. Aktivitas ekonomi
ataupun politik di Desa sama-sama dilakukan oleh setiap identitas gender, baik
laki-laki maupun perempuan. Tradisi tersebut bagi masyarakat Desa hanya perlu
direvitalisasi dan dikemas dalam semangat baru untuk menggerakkan
demokratisasi.
Transparan dan akuntabel
Proses politik Desa berlangsung sebagai kegiatan yang
berlangsung demi kepentingan masyarakat Desa. Sebab itu masyarakat Desa harus
tahu apa yang tengah berlangsung dalam proses politik Desa.
Prinsip transparan berarti tidak ada yang disembunyikan dari
masyarakat Desa, kemudahan dalam mengakses informasi, memberikan informasi secara
benar, baik dalam hal materi permusyawaratan
atau anggaran.
Masyarakat Desa juga
berhak untuk tahu pengelolaan keuangan Desa, dari
penganggaran, pengalokasian, dan penggunaan keuangan Desa.
Lembaga Demokrasi Desa
Lembaga
demokrasi Desa yang
dimaksud di sini adalah setiap
unsur Pemerintahan Desa
yang memiliki kewajiban pokok
melaksanakan demokrasi. Dalam
UU Desa, unsur penyelenggara fungsi Pemerintahan Desa ada dua, yakni
(1) Kepala Desa
dibantu oleh perangkat
Desa, dan (2) Badan
Permusyawaratan Desa atau
BPD. Sebagai lembaga demokrasi,
keduanya berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi di Desa.
Selain keduanya,Desa juga berkewajiban mengembangkan
kehidupan demokrasi. Artinya, Desa sebagai arena politik, ekonomi, sosial, dan
budaya juga memiliki kewajiban untuk menumbuhkan, menjalankan, dan mengawasi
pelaksanaan demokrasi di Desa itu sendiri.
Demikian sekilasa tentang buku Demokratisasi Desa dari
Kemendes PDTT, jika anda membutuhkannya silahkan anda bisa mendonlodd langsung
dibawah ini, semoga bermanfaat dan salam merdesa.